Setelah berdamai dengan
perasaan selama beberapa tahun terakhir. Setelah sama-sama sadar, bahwa
kehadiran media sosial tak banyak membantu memberikan kabar setiap hari.
Setelah sama-sama tahu, bahwa jarak tak lagi dipenuhi alasan ruang dan waktu,
namun ternyata lebih dari itu. Alhamdulillah, Allah maha baik. Untuk
waktu-waktu sulit ketika kami harus menunggu, berjuang, hampir putus asa.
Bahkan ketika kami sama-sama paham bahwa kami saat itu tengah berada pada jalur
yang tak benar-benar seragam. Namun akhirnya jawaban itu datang.
Setelah perjalanan mengenal dengan tanpa banyak
aksara dan bicara, kami telah sama-sama sepakat untuk saling menggenggam
erat-erat. Bahwa segala alasan untuk melepaskan telah sedikit demi sedikit kami
hilangkan. Segala peristiwa masa silam, perlahan kami ikhlaskan, seraya dijadikan
pelajaran. Apapun, kami ialah bagian yang kemudian saling melengkapi dan
menguatkan. Seraya berucap syukur dan sabar, kami berterima kasih untuk
kepercayaan satu sama lain. Kemudian diam-diam berharap bahwa hari-hari ke
depan adalah berkah, sama-sama kuat menjalani kehidupan baru, tetap birrul
walidain, dan menjadi dua pribadi yang selalu mau memperbaiki diri.
Kami percaya bahwa pada saatnya, kita akan
bertemu seseorang yang kemudian membuat kita lebih yakin dengan masa depan, sekeras
apapun. Pada saatnya, kita akan berani memutuskan untuk hidup dengan seorang
tersebut, membuat rencana-rencana baru bersamanya, dan mengikhlaskan kepergian
apa-apa yang tak disepakati berdua.
Kami juga percaya bahwa kalau ia
orangnya, dia yang pergi akan segera kembali. Tak ada yang perlu dikhawatirkan,
sebab usahanya telah membuat kita sedikit banyak mengerti mengapa harus
sama-sama bertahan. Seorang bijak pernah berkata, “Jadilah karang, yang bahkan
ombak dan badai saja tak mampu menepis ketegarannya”. Masa depan bersamanya
barangkali memang harus terus setia merawat luka-luka.
Akhirnya, merencanakan masa
depan setelah menikah membuat kami jadi orang yang lebih sering berdiskusi,
kapanpun dan di manapun. Pembicaraan seperti siapa yang mau kuliah Doktor
duluan, rencana membuat rumah dengan desain mirip pondok pesantren, mau punya
anak berapa, sampai ke hal-hal ringan seperti makanan kesukaan menjadi lebih
sering terdengar di telinga. Beruntung, kami bukan orang yang gemar menyimpan
kekesalan hati berlama-lama, lebih sering disampaikan perlahan. Marahannya cuma
2 menit, selebihnya jadi bahan diskusi dan refleksi diri.
Kami sadar, sebulan lebih pasca
mengenal lebih jauh ini masih belum cukup untuk sama-sama belajar. Hari-hari ke
depan akan lebih banyak lagi pelajaran baru. Mau tidak mau, kami harus siap
menghadapi. Ketika banyak orang mengampanyekan nikah muda maupun nikah setelah
mapan, kami sepakat bahwa menikah ialah soal tanggung jawab pada diri sendiri.
Setiap orang punya rencana kehidupan masing-masing, bahkan soal masa depan.
Dalam pernikahan, sesuai dengan pengalaman kami, ada ego yang harus didamaikan,
ada perasaan dan kasih sayang yang terus diungkapkan, dan harus ada
kebaikan-kebaikan.
Terima kasih, Exma Mu’tatal Hikmah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar