“Aku mencintaimu. Itulah sebabnya aku tak pernah
berhenti mendoakanmu.”
(Sapardi Djoko Damono).
Apakah menjauh selalu menyelamatkan.
Membuat sekaligus menciptakan mimpi-mimpi baru di masa depan. Kemudian kita
jadi sepasang manusia yang saling mengupayakan yang terbaik. Kemudian kita jadi
sepasang makhluk-Nya yang meletakkan semua harapan pada doa-doa. Kita jadi dua
kali lebih tekun berdoa sekaligus mendoakan yang terbaik.
Kita jadi
makin istiqomah pada ibadah kita masing-masing.
Pada kondisi seperti ini, harusnya
aku banyak-banyak berterima kasih padamu. Kamu yang membawaku sampai titik ini.
Perjalananku makin bersemangat karenamu. Jika ikatan yang sama-sama kita yakini
ini ialah reaksi kimia, maka ikatan ini sejatinya telah menciptakan senyawa
baru dengan kekuatan baru.
“Kamu berlebihan.”
Protesmu kala itu.
“Tidak sama sekali. Bahkan harusnya
ia lebih dari sekadar kata-kata. Kamu lebih dari sekadar kata-kata.”
Aku balik memprotesmu.
Kemudian pada titik paling nyaman
ini, aku harus memutuskan untuk memperbesar jarak. Jarak yang kuharap hanya
fisik, tapi tidak dengan hati dan perasaan kita. Kata kebanyakan orang, boleh
jauh di mata, namun tidak dengan hati, ia harus dekat, bahkan semakin dekat.
Beberapa waktu lalu, aku memutuskan
untuk menuntut ilmu di Negeri yang tidak hanya seberang, yang tidak hanya
terpisah oleh satu selat atau tanjung saja. Namun terpisah ribuan kilometer.
Terpisah ratusan kota. Puluhan negara. Kita terpisah di dua negeri dengan beda
musim juga beda waktu.
Walaupun awalnya aku ragu untuk
mengatakannya padamu. Takutnya, kamu tak terima. Kamu protes. Bahkan yang juga
kukhawatirkan ialah kamu memintaku untuk menghentikan semuanya.
Aku hampir pergi, ke Negeri Eropa.
“Sejauh itu?”
Kamu kemudian menyeka air matamu.
Menyembunyikan namun gagal. Ia menetes tak beraturan. Kamu menghamburkan
badanmu ke arahku. Kamu menangis.
Aku remuk. Keberanianku hilang
bahkan untuk menjelaskan yang terbaik. Bahwa keputusan ini juga untuk kebaikan
kita bersama.
Tuhan, adakah jalan lain selain
kesedihan saat harus berpisah. Bisakah kita hanya mengenal kata bahagia saat
perpisahan melanda. Jumpa yang bahagia, harusnya ditemani oleh perpisahan yang juga
bahagia. Namun selalu saja, berpisah lebih mau berteman baik dengan air mata.
Ia leleh. Ia cair. Kemudian kamu (dan juga aku) menjadi manusia paling
sesenggukan hari itu. Sepuluh menit tanpa jeda untuk sekadar menghabiskan air
mata. Meratapi kesedihan.
Di sisi lain, adakah cara yang lebih
tepat untuk menjelaskan baik-baik padamu. Membuatmu lebih siap dengan segala
hal yang ada di depan sana. Sejatinya, jalan yang akan kita tempuh tak
selamanya mulus. Ada gunung di depan sana, ada ranjau, ada banyak rintangan
yang mau tak mau harus kita hadapi. Bertahanlah. Dengan semua ini.
“Aku pergi, pasti kembali.”
Jawabku lirih.
Aku juga tak kuasa menahan air mata.
Aku laki-laki, harusnya lebih tegar. Namun perpisahan tak pernah mau mengenal
kamu laki-laki atau perempuan. Ia menjadikanmu lemah. Menjadikan kita makin tak
berdaya.
Akhirnya, aku memutuskan untuk
menjauh. Kali ini. Aku memutuskan untuk semakin percaya diri bahwa sejatinya
manusia ialah kumpulan dari usaha-usaha dan doa-doa terbaik. Aku memantapkan diri
untuk menuntut ilmu ke negeri yang bahkan belum pernah kukunjungi sebelumnya.
Meninggalkan orang tua, meninggalkan orang-orang yang kucintai.
Dan meninggalkan kamu.
Aku memutuskan untuk menjauh. Aku
sadar bahwa aku mencintaimu. Aku tengah menaruh harap padamu. Oleh sebab itu
aku meyakinkan diriku sendiri bahwa ketika aku tengah jatuh cinta pada
seseorang, aku harus benar-benar menjaganya, menjaga semuanya hingga
benar-benar siap untuk mendatangimu nanti. Menjadikan bagian dari hidupku.
Namun bukan sekarang. Aku belum bisa menjemputmu saat ini. Bersabarlah. Bagiku,
menjaga jarak seperti saat ini ialah keputusan yang amat tepat buatku.
Aku memutuskan untuk menepi dari
hal-hal yang tak baik. Menjauh yang menyelamatkan. Aku jadi teringat oleh
katamu waktu itu yang cukup khawatir dengan apa kata orang-orang tentang kita,
tentang hubungan kita tentunya. Kalau kamu tahu, semoga niatan pergiku saat ini
ialah untuk menyelamatkan ini semua. Membuat semuanya tetap pada jalannya.
Membuat kamu lebih bisa menjalani hari-hari tanpa beban.
Satu lagi, aku takut kita semakin
bebas di saat Tuhan belum mengizinkan kita jadi sepasang halal. Kemudian kita
makin dekat, tak ada sekat. Bahkan, kamu tahu, keimananku sering goyah, aku
sering tak istiqomah. Aku takut itu. Semoga kamu semakin paham alasanku pergi
sesaat dari semuanya.
Ketika semuanya telah siap, ketika
urusanku telah selesai, ketika kamu juga telah selesai dengan urusanmu, marilah
kita jadi sepasang yang lebih dekat lagi. Kemudian kita kerjakan hal baru
bersama-sama. Bersamamu tentunya.
Terima kasih sudah memahamiku. Aku
juga tengah berupaya keras untuk memahamimu lebih baik lagi.
------------------------
-Ikrom Mustofa-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar