Temu
sepertinya tak dapat sering-sering dicipta lagi. Kita semakin jauh. Dari jumpa
nyata hingga ranah maya. Kita semakin tahu bahwa ada yang harus diperbaiki,
dicegah, dan mungkin diobati dari berbagai kejadian belakangan ini. Kita
semakin tak berdaya untuk berkata tidak, namun kita enggan menyudahi. Kita pada
pemahaman masing-masing selalu punya harapan bahwa hubungan ini harus tetap
baik-baik saja, namun nyatanya kita dalam jalur yang berseberangan.
Jatuh
cinta tak sebercanda ini bukan?
Aku
sudah berusaha sekuat tenaga. Namun katamu aku tak banyak berbuat apa-apa. Lalu
selama ini? Aku tak berencana mengungkit, bahkan meminta balas budi. Namun aku
minta padamu. Bisakah kamu jadi makhluk pengertian barang sehari saja? Lalu
jadi aku. Berada pada posisiku saat ini. Merasakan getir, bimbang, dan serba
salah jadi satu.
Harusnya
aku yang bertanya padamu. Apa andilmu? Jika hakikat saling menaruh harapan dan
perasaan adalah sama-sama berjuang dan memperjuangkan, maka ini hanya aku yang
punya andil. Apakah ini bagian terkeras dari jatuh cinta itu? Seperti tempurung
kelapa pada bagian terkerasnya yang ternyata di dalamnya terdapat buah dengan
ragam khasiatnya? Seperti berenang menyeberang lautan hingga pada akhirnya
menemui tepian idaman? Atau seperti sakit yang kemudian menemui kesenangan
tersendiri?
Apa aku
kurang sabar? Apa aku kurang menikmati alur-alur yang sudah diciptakan
oleh-Nya?
Jika
apa-apa yang kamu lakukan ini hanya untuk menguji keseriusanku. Jika segala
responmu ini tidak lain hanya untuk menguji perasaanku padamu. Lalu tak
cukupkah selama ini apa-apa yang sudah kulakukan? Atau kamu yang masih belum
selesai dengan urusan ini. Kamu masih punya seribu bahkan lebih caramu untuk
membuatmu lebih yakin padaku dan pada akhirnya membuatku harus lebih bersabar?
Tapi apakah ini tak bisa kita bicarakan baik-baik? Kita saling memperbaiki.
Jujur, aku tak baik. Namun jika saling berdiskusi, tentu akan membuahkan
pemikiran-pemikiran yang jauh lebih matang. Kita akan sama-sama
mempertimbangkan.
Bukan
kamu atau aku yang harusnya pergi. Bukan kita yang harus sama-sama menjauh. Aku
tak ingin dan aku tak mau itu terjadi. Selagi masih ada alasan untuk
mempertahankan hubungan ini, aku minta kamu untuk ikut berjuang bersama.
Sungguh,
yang harusnya pergi adalah segala ketidakberdayaan ini. Diam yang tak
menyelesaikan masalah. Menjauh yang tak saling bicara. Dan jiwa-jiwa yang makin
tak peka. Atas nama perasaan, mereka harus dibuang jauh-jauh dari kita. Untuk
kebaikan kita. Untuk ke depannya. Semoga kamu mengerti.
Lalu
pada akhirnya kita jadi dua makhluk yang sangat dekat dengan
pembicaraan-pembicaraan soal buku favorit minggu ini hingga soal perasaan.
Dengan dua cangkir teh tubruk, kita membunuh waktu tak sia-sia.
Lalu
pada akhirnya kita terbiasa dengan pembicaraan menyelesaikan, bukan lagi diam
yang tak lagi mengagumkan, namun sungguh menyisakan beribu pertanyaan.
Belanda, Oktober 2017
Pait banget kayaknya😂 menjiwai banget tulisannya😅
BalasHapus