Untuk
beberapa waktu ke depan, rasanya keterasingan akan jadi teman terbaik. Setelah
rindu yang harusnya ditumbuhkan baik-baik, kini tinggal residunya saja. Setelah
jatuh cinta yang semestinya bisa menemukan semangat tersendiri, kini tinggal
raga kosong saja.
Aku
membayangkan diriku saat ini tak lebih dari seorang pendatang di tanah baru.
Tanpa bekal harta, bahkan bahasa sekalipun. Berbicara saja sulit, apalagi
sampai berkenalan dekat dengan orang-orang baru. Keterasingan yang menyiksa dan
membatasi diri.
Aku
terasing dari rindu yang semestinya tumbuh bak cendawan pada musim penghujan.
Atau sakura pada musim semi. Lagi-lagi rindu ini jauh sekali dari definisi
rindu sesungguhnya. Rindu yang hampa. Yang kebanyakan orang bilang bahwa ini
bukan rindu, sebab berada tak pada tempatnya.
Kamu
kenal dengan simalakama? Rindu ini mirip dengan buah bernama simalakama. Serba
salah. Jika aku mencoba memberi ruang pada rindu, rasanya sia-sia saja. Namun
jika aku berupaya mencegah kerinduan ini, sungguh aku tak punya kuasa.
Aku
semakin terasing pada tempat asing ini.
Baiklah,
aku bertanya pada diriku sendiri. Membatin. Apakah di dalam dadamu terdapat
satu ruang tambahan yang tak dapat diterjemahkan oleh pengetahuan faal tubuh? Mungkinkah
ruang itu berisi ribuan siasat untuk mengasingkan hati orang lain? Dan kamu
tahu, aku korbannya. Aku korban keterasingan ini.
Ah,
lagi-lagi aku terlalu berburuk sangka padamu. Padahal kerap kali aku berjanji
pada diri sendiri untuk selalu menganggap ini bagian dari memperjuangkanmu.
Namun setiap harinya aku selalu dikelabuhi oleh bermacam-macam perasaan. Kadang
semangat berlebihan, kadang aku jadi acuh, namun kerap kali aku jadi orang yang
paling lemah menghadapi ini semua.
Aku
semakin terasing pada tempat asing ini.
Aku
ingin pulang. Memulangkan hati yang bagiku beban. Memulangkan perasaan. Hingga
aku bisa kembali bersama hal-hal yang tak asing. Dan aku akan menjalani hidup
seperti kebanyakan orang, tak melulu membohongi perasaan seperti ini. Namun
perjalanan ini telah menempuh jauh yang sayang sekali ketika harus berbalik
arah. Bahkan aku belum memperoleh apa-apa.
Beginikah
rasanya berjuang? Beginikah rasanya memperjuangkan perasaan? Aku terus membatin
dan mengeluh di sela-sela keterasingan itu.
Dalam
Sketsa
-Ikrom
Mustofa-
ajarin nulis dong kakak
BalasHapus