Pernahkah bermimpi menyentuh salju.
Merasakan keromantisan bergumul dengan buih-buih putih yang dinginnya sampai
menusuk tulang-tulang. Berfoto bersama salju, kemudian membuat boneka-boneka
salju aneka tokoh. Manis bukan. Romantis yang diabadikan dalam satu buah gambar
tak terlupakan.
Dan sekarang aku ada di sini. Di
negeri bersalju. Dengan dingin yang menggigil. Winter telah usai, namun dinginnya juga tak mau pergi. Ada banyak
hal yang tak seromantis ketika membayangkan. Naik sepeda cukup sulit dengan
salju di sana-sini waktu itu. Berjalan di luar tak semanis yang dibayangkan,
dua tiga jam tak segera masuk ruangan, alamat bahaya bagi kesehatan raga. Aku
bahkan rentan terserang hipotermia.
Pada bulan ketiga ketika aku harus
mempertahankan semua hubungan kita bersama kamu yang lebih mirip salju -dingin
dan beku. Bahkan saat di mana salju telah mencair, namun kamu tak kunjung cair.
Tetap pada diammu. Ego yang aku juga tak tahu seberapa kuatnya. Ada semacam
gerbang yang kamu ciptakan dari beku salju sebegitu kokohnya hingga tak sedikit
pun mampu kujamah.
Kalau aku boleh bertanya, egomu terbuat dari dinding apa? Beton, jati,
salju es, atau apakah? Hingga menembus bahkan membuatnya cair saja aku masih
belum mampu.
Sudah beberapa minggu aku berada di
sini. Jauh yang terkadang menyesak rindu. Menjadikan kenangan mirip hutan
belantara. Luas, namun tak sedikit pun berani aku masuk ke dalamnya. Terutama
memasuki bagian kenangan bersamamu. Takut tersiksa. Tak hanya tersiksa oleh
ingin untuk menjalin temu denganmu, namun aku tersiksa dengan jenis-jenis
kenangan denganmu. Dari yang paling manis, hingga yang sangat miris.
Terpisah ratusan kota denganmu.
Menciptakan teka-teki dan pertanyaan lebih banyak lagi. Kita tak pernah sama-sama
memutuskan untuk menghentikan semua ini, namun kita tak pernah saling bicara
untuk melanjutkan pada perbincangan serius selanjutnya. Menyesakkan bukan.
Yang ada, yang ada adalah aku yang
sudah pergi jauh, dan tersisa kamu yang detik ini aku tak pernah tahu apa yang
tengah kamu kerjakan sekarang. Kamu yang makin asing, dan aku yang masih belum
mampu beradaptasi dengan keterasingan ini.
Andai saja kamu menyampaikan satu
atau dua patah semangatmu untuk hijrahku ke kota lain kali ini, mungkin aku akan
lebih punya gairah dan semangat. Tidak loyo seperti ini. Dan parahnya, kamu
bahkan tak pernah menghubungiku lagi.
Di mana-pun, aku selalu mengharapkan
ribuan keinginan. Salah satunya ialah tentang kamu yang kumau tak jadi sebeku
salju. Kita sama-sama cair. Kita sama-sama menyelami rasa masing-masing. Jadi
rindu untuk temu suatu saat nanti.
Ah, semoga memilihmu tak pernah
salah. Walau begini rasanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar