Aku memutuskan pulang. Setelah semuanya menjelaskan bahwa saat
ini dekat adalah fana. Namun aku juga percaya, bahwa jauh akan lebih fana. Ia
akan lebur oleh temu yang syahdu. Dan akhirnya sekarang aku memastikan diriku
kembali ke rumahku, menutup pintu-pintu untuk sementara waktu yang sesekali
mampu membawa ingatanku padamu. Biarlah ia rehat untuk saat ini, untuk
sementara waktu.
Terima kasih untuk pertemuan singkat yang membuatku
benar-benar ingat. Dia di masa depan katamu adalah balon udara yang terbang
mengangkasa, suatu saat akan kembali padamu. Dan kini hanya kota-kota kita yang
berjauhan, tubuh kita, tulang yang sering kali kau sebut rapuh, dan hati kita.
Hanya mereka yang terpisah, selebihnya kita dekat pada cara kita berdekatan. Unik,
semisal lewat sajak tanpa alamatnya yang hanya terpapar pada laman jejaring
sosial kita. Ah, bagiku itu sudah cukup melegakan. Setidaknya kamu masih juga
menyukai apa-apa yang ku sukai.
Aku selalu percaya dengan hakikat bersyukur. Aku bersyukur
menemukanmu waktu itu. Perkenalan tanpa banyak bicara ialah ingatan-ingatan
yang menyejukkan. Senyuman jadi kata-kata, dan kata-kata yang urung dibebaskan
jadi kekaguman tersendiri. Aku menyukai caramu menyimpulkan sesuatu. Melengkapi
pendapatku bagimu jauh lebih menentramkan daripada beradu argumen denganku.
Kamu selalu membuatku berdecak kagum, sebab yang ku tahu, sepasang rindu adalah
paket lengkap yang saling melengkapi, bukan ajang kompetisi harga diri.
Dan hari ini aku memutuskan untuk benar-benar berdamai
dengan jarak. Aku memastikan diriku yang harus selalu berbaik sangka. kamu yang
jauh adalah kumpulan urusan yang harus terselesaikan.
Aku juga, kotaku terpisah ratusan kota denganmu sekarang. Namun kamu adalah
salah satu alasan bahwa rindu harus tetap ditanam, dan tentunya kamu harus
selalu ada dalam ingatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar