Hari ini kita baru saja melewatkan pagi sampai siang berdua. Dengan jeda hanya sebentar, itupun Cuma lima menit ketika kamu mohon izin ke kamar kecil, selebihnya kita melenggang beriringan pada sudut-sudut jalan setapak. Kita bercerita banyak. Kadang tertegun, kadang kamu berbicara lepas, kadang aku tiba-tiba jadi pendengar setia padahal sungguh aku tak lebih suka mendengarkan dari pada kamu. Mendengarkanmu yang bagiku harus. Bagaimanapun isi bicaramu.
Ah, aku tiba-tiba jadi melankolis begini. Membayangkan kamu yang seketika bilang pagi tadi ialah kali terakhir hadir tepat di hadapanku. Apakah kamu telah memesan takdir-Nya? Hingga detik dan segala hal yang ada jauh di depan sana segalanya kau tahu. Aku yakin tidak. Aku yakin kamu hanya menerka, menerka agar aku siap dengan banyak kemungkinan terburuk.
Kamu pergi, kita tak bertemu kembali, tak ada lagi komunikasi. Itukan maksudmu? Lalu kamu memaknai pagi ini apa? Kenangan terakhir yang membekas. Seperti luka menganga yang sulit hilang nodanya. Katamu aku harus belajar membencimu, belajar melupakan -segala potongan-potongan cerita tanpa skenario yang telah kita buat- begitu saja. Menurutmu aku siapa? Orang lain yang tak hendak kamu kenal dekat, kalaupun kenal hanya sekadarnya.
Hai, aku tak pandai mencipta kenangan, aku juga tak cukup cerdas membunuh kenangan masa lalu. Otakku lemah mengungkap cepat peristiwa barusan. Aku harus mencipta suasana dalam waktu panjang yang tak bisa ditentukan. Belakangan ini aku baru saja tersiksa dengan kenangan waktu kecil, dan itu cukup membuatku rindu bermanja-manja dengan Ibu, bermain dengan sahabat kecil, dan kisah-kisah kecilku lainnya. Yang kutakutkan –semoga kamu tahu- ialah ketika kenangan tentang kita baru bisa hadir kembali ketika aku tua nanti. Aku hanya takut ini mengalihkan persiapanku menuju perjalanan panjangku ke sana.
Bogor, 30 Maret 2015
Sumber gambar: Andysukma.com
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Hapuskomen elis dihapuss
BalasHapus