Perpisahan mana yang
dikehendaki oleh kamu yang sesenggukan air mata, atau oleh aku yang tak mampu
bergeming. Percayalah, ia yang akan mengakui bahwa perpisahan tak pernah nisbi,
yang seharusnya memberi arti, namun terkadang lebih tajam dari mata pedang
milik Kaisar kerajaan. Ia yang semestinya meninggalkan senyum, namun sering
kali berbuah tangis tak berdaya. Lihatlah, betapa tak kuasanya seorang Ibu ditinggal
Anaknya, Kekasih terjauhkan dari Kekasihnya, sanak terpisah dari Saudaranya.
Betapa cinta hanya menemukan dua pasang mata beberapa waktu saja, lalu pergi
entah kemana. Beginikah cinta?
Kita bertemu, lalu kamu
harus mengartikan caraku berbicara begitu lama, sedang aku masih terlalu
canggung untuk menamaimu, tepatnya menamaimu dengan panggilan paling dekat
dengan hati. Kemudian mengenal lebih dalam lagi, namun itu belum sempat. Karena
kamu harus pergi, karena aku harus kembali. Kita tak sedang berada dalam Surga
yang kita tahu kekal di dalamnya. Kita hanya berada di titik terkecil dunia,
dunia yang katanya hanya sesaat, yang penuh tipu daya. Lalu apa?
Beginikah waktu, begitu
singkat bagi kita yang tengah berhadap-hadapan. Sampai akhir pertemuan ini aku
masih belum mampu menyempurnai wajahmu yang harus lengkap untuk ku lukis,
maafkan aku. Raga yang harus berjauhan mungkin hanya soal waktu yang harus
diikhlaskan, hingga nanti akan ada saat-saat bertemu kembali, dalam jiwa yang
baru. Namun soal berpisah, tentang melepas kamu, tentang saat-saat terakhir.
Adakah mereka yang tak luluh hatinya, bohong, ini bukan anomali es yang ketika
semua mencair, ia sendiri tetap membeku. Ini tentang hati, segumpal daging yang
tak pernah mau dibohongi. Sejujurnya kamu menangis, namun jauh di sana, di
dalam hati. Aku? air mataku juga hampir tumpah, namun aku lelaki. Menenangkanmu
sudah cukup meluluhkan hati. Karena aku lelaki, aku tak mau melunturi
kenangan-kenangan kita dengan air mata ini.
Selamat jalan, karena
pergi bukan soal menjauh atau kembali, namun tentang menciptakan banyak
kenangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar