Aku merasa menjadi
gila, mungkin gila tentangmu, namun tak pernah benar-benar gila, apalagi
tergila-gila.
Kopi mana yang tak
pahit, apalagi tanpa gula, tanpa madu, atau tanpa pemanis lainnya. Namun
begitulah ia, selalu dengan pahit yang menyisakan candu.
Hanya sebatas mata,
kita bertemu, harusnya tak ada yang gila atau tergila-gila, namun kita manusia.
Rasa seperti aliran laminer yang bergerak pelan namun tak pernah berhenti.
Bukan tak berhenti, tepatnya akan bermuara, namun di hatimu dan hatiku. Namun
kita manusia, mencegah rasa ialah menyakiti hari-hari, semakin kuat melupakan,
semakin hebat ia mengingatkan.
Hanya sebatas mata,
kita bertemu sesaat. Aku harus menyusun banyak kata, beberapa kalimat ketika
menemuimu, namun itu semua lupa, hanya tergagap dalam heningnya masa. Kamu
juga, bukankah kamu lebih mahir berkata-kata, namun hari itu kamu bisu, seperti
daun yang selalu mendiamkan angin. Aku angin, ya, karena kita sama-sama diam.
Namun aku tak bergerak, hanya berdiri diantara degup jantung yang semakin
meninggi. Ah, aku berlebihan, namun begitulah rasanya.
Hanya sebatas mata,
kita berpandangan sekejap saja, lalu saling bertolak. Namun ini candu, seperti
pagi kehabisan kopi, selalu ingin lagi dan lagi.
Bogor, 10 April 2014
Oalaaah yang kcanduan kopi.. banyak kafein nya lhoo.. huhiii
BalasHapus