Teruntuk Bapak dan Ibu,
Surat ini adalah surat kedua yang ku kirimkan setelah
bertahun lamanya aku tak pernah mengirim secarik amplop berisi untaian
kata-kata untuk kalian, Bapak, Ibu. Kita lebih sering berjumpa lewat pesan singkat
dan suara telepon selular dari kejauhan. Namun hari ini aku ingin lebih lugas
mengungkapkan banyak hal yang lebih sulit tersampaikan lewat suara, aku ingin
lebih ringan berbicara lewat tulisan ini.
Bapak, Ibu, agaknya hari ini adalah bercabang bagiku. Disatu
sisi oleh banyak tuntutan pendidikanku yang semakin mendekati tingkat akhir, di
sisi lain aku terus diingatkan oleh keharusan menyempurnakan ibadah, salah
satunya menikah. Kalian tentu tahu maksudku. Menikah bagi Bapak ialah tentang
pembelajaran menjadi sosok pemimpin tertangguh bagi Ibu, sesuai wejanganmu
beberapa bulan yang lalu. Sedangkan bagi Ibu menikah ialah tentang meraih
banyak hal yang tak dapat dilakukan sendiri, tentang ibadah tentunya. Lalu
menikah bagiku?
Bapak, ibu, sudah berapa banyak buku penuntun menikah yang
baik, waktu yang terbaik, usia terbaik, hingga mereka yang terbaik telah ku
baca bahkan ku ulang-ulang membacanya. Di sana kutemukan sisi lain dari
pernikahan, ialah tentang mempertemukan dan mempererat silaturahim dua keluarga,
bukan hanya tentang dua anak manusia. Berapa banyak pula tausyiah pra nikah,
seminar pra nikah, bahkan kajian pra nikah yang sudah beberapa kali ku ikuti.
Semakin banyak mengikuti, semakin khawatir pula akan pernikahan itu.
Katanya hidup itu pilihan, bukankah memilih untuk dipilihkan
juga sebuah pilihan. Sampai hari ini aku masih memantapkan diri untuk belajar
dari waktu, banyak tugas yang belum selesai, banyak mimpi yang belum tergapai,
dan banyak kebaikan yang belum tertuang dalam sikap. Bapak, Ibu, bukankah
semakin baik diri kita, semakin baik pula jodoh kita, ah, aku selalu percaya
itu.
Bapak, Ibu, jika lelaki baik itu untuk perempuan yang baik
pula, kalian tentu lebih tahu siapa dia. Sebagai lelaki, mudah bagiku
menentukan tanpa memikirkan terlebih dahulu, mudah bagiku memilih dia tanpa
mempertimbangkan banyak hal. Sedangkan kalian, Bapak, Ibu, mungkin dan semoga
kalian lebih mengetahui siapa aku dari pada aku sendiri. Kadang aku lupa jadwal
minum obat, kalian yang tekun mengingatkan. Sering pula aku lalai cek
kesehatan, kalian pula yang terlebih dahulu mengabarkan. Ah, dari kesehatan
saja Bapak lebih tanggap, soal makanan saja Ibu lebih peduli, lalu aku seakan
tak sempat menjaga hal-hal kecil itu.
Bapak, Ibu, terimakasih telah memberiku banyak kebebasan
hingga hari ini. Terima kasih telah mengizinkan kemandirian itu tercipta sejak
sekolah menengah pertama, menjauhkan si bungsu ini dari rumah. Apa jadinya jika
aku masih tetap terkungkung dalam kenyamanan keluarga hingga hari ini. Terima
kasih pula telah memberiku banyak kesempatan yang mungkin tak banyak didapat
oleh mereka, terima kasih telah menghadirkan kakak-kakak super yang mendidik
banyak pelajaran tentang kehidupan. Itu lebih hebat dari sekedar strata satu
yang tengah ku tempuh hari ini.
Bukan, ini bukan balas budi. Tak dapat disebut balas budi
untuk sekedar permintaan kecil ini. Sebab banyak hal yang telah kalian berikan
yang tak mungkin terbalaskan hingga usia dua puluh tahun ini. Bukan, ini bukan
juga zaman Siti Nurbaya yang harus terpaksa dinikahkan, semoga ini bukti cinta
seorang anak pada kedua orang tuanya, begitu pula sebaliknya. Memilihkan ialah
proses memikirkan, kalian tentu memikirkan ini jauh-jauh hari dari sebuah
keputusan yang ku tempuh.
Cinta? Cinta ialah tentang menciptakan, bukankah cinta lahir
dari kebiasaan, jika kedua insan telah meniatkan yang baik, bukankah akan
terlahir cinta diantaranya.
Bapak, Ibu, semoga sudah ada perempuan itu.
Tertanda,
Anakmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar