Mengapa harus menunggu hujan untuk meluapkan perasaan, menguapkan kekesalan, membebaskan amarah, dan mewariskan gundah.
Kita berjalan di antara rintik yang berdiameter tak lebih
dari 2 mm, cukup membasahi dahi namun tak sempat menusuk jemari. Kita berhenti
sejenak, lalu aku mengisyaratkanmu untuk membebas dari kerumunan. Kita menepi,
sambil sesaat menangkap nikmat-nikmat-Nya. Kerudungmu basah, hampir sempurna. Sedang
aku, rambut yang tak begitu lebat sejenak menipis klimis.
Adakah yang lebih lengkap dari senja ini, sebuah perwakilan
waktu dari sang pencipta pada hamba yang ingin mengungkapkan banyak kata. Senja
dengan rintik, gerimis, namun tak cukup kuat untuk menguapkan banyak prosa
dalam raga.
Lalu apa? Kita tak sanggup membebaskan kata. Beginikah hakikat
makhluk, selalu kurang mensyukuri. Harusnya tak perlu menunggu senja esok sore
untuk sekedar berbagi do’a. Harusnya tak perlu berharap rintik ini lebih lama
lagi untuk sekedar menuntaskan emosi jiwa.
Kamu? Perempuan berkerudung abu-abu, lengkap dengan suasana
siluet senja, dengan butir air yang sesekali menetes lembut di pelupuk. Tak banyak
yang terungkapkan, namun cukup suasana yang menyampaikan kronologi hal ikhwal
darimu. Tetap sama, dengan ungkapan dalam diam, dengan warna yang berbeda, dan
dengan banyak kekesalan yang masih tetap tersimpan rapi.
Ah, cukuplah. Senja yang begitu indah, hujan yang terkadang
sulit ditafsirkan, dan perempuan yang memutuskan untuk menyimpan. Membebaskan perasaan
tak pernah menunggu waktu. Setiap garis-garis masa selalu melahirkan do’a-do’a
seorang hamba pada khalik-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar