“Yakinlah,
sejatinya penerimaan itu tak hanya menengadah, namun harus menjiwai dan mengisi
sisi kemudi.”
Suatu ketika seorang sahabat mengajakku berdiskusi tentang
hakikat menyelami penerimaan. Awalnya ia takut menerima, ia khawatir dengan penerimaan,
ia bahkan memilih sebuah penolakan andai penerimaan itu membuatnya lupa. Lupa
bahwa sejatinya penolakan adalah penangguhan sebuah penerimaan.
Khawatir itu wajar, bahkan kita dituntut untuk takut, sebab
penerimaan itu amanah, limpahan mandat yang tak bias lagi. Boleh saja menjadi
sosok yang lebih khawatir, namun jangan sampai menjadi penerima yang takut
bergerak, sebab penerimaan itu tak hanya menengadah, namun harus menjiwai dan
mengisi sisi kemudi.
Ialah sebuah pintu dan kuncinya. Ketika sebuah kunci menjadi
bagian dari penerimaan, lantas tidak cukup hanya dengan membuka pintunya,
ruangan dalam itu adalah bagian lain dari penerimaan, maka sudah saatnya
melabuhkan peran di dalamnya. Sebab penerimaan adakalanya sederhana, hanya
sebatas ucap, atau mungkin isyarat, atau bahkan dalam bentuk mozaik yang
terpecah, maka lengkapi ia dengan segenap usaha, kuatkan ia dengan do’a,
sebagaimana interaksi seorang penghamba pada khalikNya.
Ialah sekisah air sungai dan api lentera. Untuk menghendaki
penerimaan, lupakanlah analogi api lentera, sebab ia akan selalu mengikuti
kemudi angin, terkadang redup seredup-redupnya, bahkan akan padam oleh hembusan
riuh. Maka ingatlah hakikat air sungai, terkadang diamnya menghanyutkan, bahkan
arusnya sanggup melicinkan bebatuan dasar.
Bergegaslah, penerimaan tak selamanya diterima.
Bersyukurlah,
sebab adakalanya penerimaanmu tak lagi tertangguhkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar