Beberapa minggu lalu, negeri ini cukup ‘booming’ oleh adanya
film Habibie Ainun, sebuah masterpiece perfilman Indonesia yang terilhami dari
sebuah kisah anak Negeri, Rudi Habibie dan Ainun. Membludaknya penonton di
berbagai bioskop di Indonesia bahkan di negara tetangga hingga jutaan penonton
membuat film ini tetap hidup hingga beberapa minggu setelah tayang perdana,
bahkan hingga hari ini film ini masih menjadi daya tarik berbagai kalangan
masyarakat. Rasanya tidak bosan memperbicangkan skenario kisah di dalamnya
hingga berulang kali dan menjadikan buah bibir di berbagai kesempatan.
Mungkin wajar, bahkan sangat wajar apabila kita cukup
terlena dengan berbagai kekayaan negeri
ini. Ya, salah satunya kekayaan dalam dunia perfilman yang terus memperbaiki
diri hingga mencoba untuk sejajar dengan seabreg film favorit negara lain di
berbagai belahan dunia ini. Sebut saja The Raid yang menyelamatkan negeri ini
dari klaim film tak berkelas, film 5 CM yang kaya makna, tetralogi Laskar
Pelangi yang cukup menyita banyak pemirsa, hingga film Habibie Ainun yang sudah
tak perlu ditanya lagi kualitasnya. Terlena? Benar, zona nyaman ini membuat
kita cukup terlena dan terlupa sesaat bahwa tidak sepenuhnya negeri ini seindah
perjalanan Film Indonesia.
Cobalah peka dengan berita di berbagai media beberapa hari
terakhir. Agaknya kita harus membuka mata untuk lebih menyalurkan empati yang
kita punya. Lihatlah, fenomena alam terus menyambangi negeri ini tanpa henti.
Banjir di jakarta, tanah longsor di Kulon Progo, angin puting beliung, hingga
beberapa gunung kembali mengeluarkan material dahsyatnya. Itu hanya beberapa
contoh saja, namun dampaknya sudah lebih dari apa yang kita kira, ribuan rumah
terendam banjir, puluhan manusia tertimbun longsor, bahkan banyak yang hilang
belum ditemukan. Harta, jiwa, dan tahta hilang oleh amukan alam seketika itu.
Bukan hanya itu, skenario Film yang terlihat lurus tanpa
cacat agaknya cukup frontal dengan berbagai fenomena sosial negeri ini beberapa
hari terakhir. Harusnya kita lebih peka dengan kejadian pemerkosaan terhadap
anak usia dini beberapa hari yang lalu hingga berakibat kematian. Mungkin kita
cukup menghela nafas panjang dengan kecelakaan yang melibatkan putera bungsu
Menko Perekonomian, bahkan pada kasusnya yang masih simpang siur. Kita juga
cukup dibuat berang oleh kemiskinan negeri yang tak kunjung usai, pemerintahan
yang belum juga mengayomi, pertumbuhan ekonomi yang masih berfluktuasi negatif,
hingga negeri ini yang masih belum mampu berbuat banyak untuk rakyatnya.
Agaknya negeri ini butuh sejarah, sejarah bagaimana dulu
membangun sebongkah pulau menjadi merah putih nan kokoh, hingga menjadikan
gugus nusantara tetap bertahan sampai hari ini dalam satu kata ‘Indonesia’. Mungkin
jiwa patriotisme sudah semakin terdegradasi oleh pengaruh globalisasi, namun
tiada salahnya kita tetap membangkitkan nasionalisme lewat gebrakan globalisasi
yang semakin merajalela tersebut. Bukan hanya ucap semata, karena banyak orang
yang bisa bicara, namun ‘action’ nya nol besar. Ingatlah, kejadian beruntun
beberapa hari terakhir ini bukan hanya
skenario manusia, karena ini tiada diduga kelahirannya. Cukup berhusnudzon,
mungkin ini skenario Ilahi untuk membuat kita lebih sadar akan khilaf yang
tercipta selama ini, hingga pada akhirnya akan ada sebuah perubahan menjadi
sosok yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar