Berawal dari sebuah pesan singkat (Red. SMS) yang ku
kirimkan kepada Bapak Prof. Hidayat Pawitan, dosen pembimbing akademikku
terkait perwalian dan rencana studi. Tiba-tiba, beberapa menit kemudian sebuah
balasan SMS masuk ke Inboxku. Bunyinya kira-kira begini “Temui saya di IPB
Baranang Siang pukul 9 pagi ini”. sebuah jawaban pesan yang membuatku sangat
tergesa-gesa. Saat itu sudah pukul setengah delapan pagi, aku belum mandi,
belum persiapan form perwalian, hingga mempertimbangkan jarak kontrakanku
dengan kampus IPB Baranang Siang yang harus naik angkot 2 kali plus macetnya
yang super lama. Lalu, tanpa pikir panjang, aku segera bersiap dan segera
meluncur ke sana. Hingga akhirnya, perasaan lega itu hinggap sempurna setelah
aku sampai di kampus Baranang Siang yang tak lain adalah kampus Pasca sarjana
setengah jam sebelum waktu bertemu yang telah dijanjikan oleh sang Profesor.
Berjalan ke sekeliling kampus sebentar, berbekal sok tau
yang sebenarnya tidak tau sama sekali, aku kemudian melangkah masuk gedung
Pasca sarjana yang super megah itu. Hingga akhirnya setelah berkomunikasi
intens via sms dengan sang Profesor dan mendapat jawaban singkat di mana beliau
sekarang, akhirnya aku naik ke lantai 2 gedung tersebut. Di sana aku melihat
bapak Profesor telah duduk di sebuah lobi bersama seorang paruh baya juga.
Setelah mengucap salam dan menjabat tangan mereka akhirnya aku duduk bersama
mereka . Bapak Arsyad namanya, seorang paruh baya itu yang tidak lain adalah
mahasiswa program doktor yang dibimbing juga oleh sang profesor. Nervous,
grogi, dan berkeringat dingin, itulah yang ku rasakan saat berbincang dengan
mereka. walaupun mereka mencoba untuk santai dan tetap mencairkan suasana,
namun keringat ini tidak henti-hentinya menetes karena grogi tetap bersarang
dalam diri ini.
Memulai prolog dengan mengadukan KRS ku, kemudian
berbincang-bincang tentang latar belakang keluarga, hingga aktivitasku saat
ini, aku mencoba untuk tetap tenang dan berusaha mengikuti “style” pembicaraan
mereka yang menurutku berat dan terkadang sulit dicerna karena harus
menganalisis terlebih dahulu. Sebuah kebiasaan ketika aku berbicara dengan
seorang akademis, maka mereka akan melontarkan sebuah pernyataan yang
kontroversial menurutku dan mereka akan melemparkan isu tersebut padaku hingga
aku kebingungan dalam menjawab. Namun hal ini sungguh bermanfaat bagiku untuk
lebih kreatif dalam melakukan “problem solving”, ataupun dalam sebuah pilihan.
Hingga kemudian setelah beberapa saat telibat dalam
perbincangan hangat, sang profesor mengajakku dan Bapak Arsyad untuk
berkeliling kampus Pasca sarjana yang baru kali ini aku masuki. Wah, aku begitu
bersemangat untuk mengikuti suasana yang jarang-jarang bisa dilakukan ini. sang
profesor selain menemani jalan-jalan itu, beliau juga memberikan penjelasan
panjang lebar tentang kampus Pasca sarjana Baranang Siang. Setelah puas
berkeliling akhirnya aku mohon diri kepada Profesor dan Bapak Arsyad untuk
kembali ke kampus Sarjana, karena bapak Profesor juga akan kembali mengajar.
Setelah itu, rihlahku berlanjut pada perbincangan dengan
Bapak Arsyad, yang ternyata beliau adalah dosen di Universitas Negeri Makassar.
Berbincang tentang bagaimana aku dapat masuk ke Kampus ini dengan jalur
beasiswa kementrian agama hingga prospek kerja nanti. “Mengapa tidak berencana
jadi dosen saja, kamu berpotensi” beliau memotivasiku melalui sarannya. Aku hanya
tersenyum simpul dan mengamini dalam hati. Hingga terakhir beliau memberikan
kartu namanya padaku dan berharap aku dapat berkunjung ke rumahnya. Alhamdulillah,
suatu berkah kalau seorang mahasiswa diberi kartu nama oleh seseorang yang
menurutku telah menjadi orang. Bertambah sebuah silaturahmi, pikirku.
Setelah puas berkeliling dan menikmati atmosfer kampus pasca
sarjana aku berencana pulang ke kampus dramaga, tempat mukimku sekarang. Sama seperti
biasanya, aku naik angkot dan ternyata juga ditemani oleh guyuran hujan yang
sudah menjadi rutinitas di kota hujan ini. Di angkot, kembali berjumpa dengan
seorang Wanita Paruh Baya yang ternyata seorang warganegara asing, tepatnya ia
berasal dari ceko. Perbincangan berawal dari saat ia bertanya nomor angkot,
kemudian berlanjut ke “say hello” lalu membicarakan tentang kebudayaan
masing-masing. Aku sedikit mengimbangi bahasanya yang belum terlalu lancar “pronounciation”nya.
Agar lebih “nyambung” dengan pembicaraan, aku mencoba
mengingat kembali “ceko” di pikiranku. Namun ternyata ingatanku tentang “ceko”
miskin sekali. Aku hanya ingat ceko dengan musim dinginnya hingga penduduknya
harus memakai “palto” dan tentang kemajuan peternakannya. Itu saja. Hmm,
untungnya ia mengiyakan pengetahuanku tentang ceko itu bahkan ia mengapresiasi
pengetahuanku yang coba-coba itu. Hingga kemudian ia menjelaskan panjang lebar
tentang ceko dan penduduknya. Satu hal yang membuatku prihatin sebagaimana
penuturan ibu itu adalah bahwa kebanyakan penduduk ceko mengenal Indonesia
adalah sebuah negara yang minim teknologi Informasi, namun ia mengakui bahwa
sesungguhnya indonesia lebih maju dari negaranya setelah beberapa bulan ia
bermukim di negeri beribu pulau ini.
Kemudian setelah bertanya banyak hal, sharing kebudayaan,
dan sharing pengalaman, akhirnya aku harus berpisah dengan Ibu itu. Walaupun ibu
itu bukan orang pribumi, namun ia begitu sopan. Setiap ia tidak mengerti maksud
pembicaraanku, ia akan balik bertanya dengan didahului kata “maaf”. “nice to
meet you madam”, gumamku dalam hati.
Hmm, akhirnya sampai juga di kampus Dramaga setelah seharian
berkeliling kota. Untuk memenuhi janji tadi, segera ku kirim pesan singkat
kepada Pak Arsyad untuk memberi tahu nomor teleponku. Rihlah yang berkesan
menurutku, semoga bermanfaat untuk hari itu, hari-hari berikutnya, dan untuk
masa depan nanti. Insyaallah..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar