Mungkin sebagian di antara kita saat ini tengah menyandang
gelar mahasiswa dengan modul-modul kuliah yang tebalnya bisa mencapai ratusan
halaman, sebagian lagi mungkin telah menjadi seorang karyawan dengan jam kerja
yang super padat, bahkan mungkin beberapa di antara kita telah menjadi
pengusaha yang sukses di bidangnya. Menjadi apapun itu seharusnya tidak
melunturkan jiwa-jiwa “santri” yang sudah beberapa tahun terakhir ini mengalir
dalam nadi-nadi kita. jiwa-jiwa menjaga hijab, kesederhanaan, hingga jiwa-jiwa
mengabdi pada masyarakat sudah seharusnya menjadi oase di tengah gurun yang sedang kita tempuh saat ini.
Jiwa kemandirian yang telah tertanam sejak masa putih
abu-abu dalam rihlah “tafaqquh fiddin” itu sedikit banyaknya juga memberi andil
untuk hari ini dan suatu saat nanti. Semestinya kita bersyukur atas berbagai
ibrah berharga yang berhasil kita raih kala itu. Ya, ketika menikmati suasana
suka dan duka bersama 95 santri di ma’had berlabel ‘teknologi’ itu.
Dahulu di bawah naungan “ummatan wasathan” itu kita dituntut
untuk berpuas diri dengan berbagai kekurangan yang ada. Sejatinya kekurangan
yang membuat kita lebih ‘ngoyo’ lagi. Ketika itu kelas gaduh hingga mengganggu
kelas lain karena kekurangan tenaga pengajar, ketika itu kita beramai-ramai
mengajukan diri untuk pindah ke sekolah lain, ketika itu kita harus menikmati
‘senioritas’ yang selalu tergadai dengan fisik kita, bahkan ketika itu kita
diklaim sebagai angkatan ‘perusak’. Namun dengan suasana”ketika itu”
sesungguhnya kita telah melakukan reinkarnasi untuk menjadi sosok yang lebih
baik dari mereka walaupun harus melalui perjuangan yang teramat berat.
Saat ini. Ya, mungkin saat ini sebuah ikatan yang dahulu
menyatu dalam khazanah kemandirian itu kini telah terpecah menjadi
mozaik-mozaik dengan warna yang berbeda, ukuran yang berbeda, hingga tempat
yang berbeda pula. Namun yakinlah, mozaik yang harus “ngoyo” ini, mozaik yang
dulunya penuh sesal itu nantinya akan tersusun kembali dengan warna yang
bermacam-macam. Yakinlah, Suatu saat nanti akan lahir banyak ahli filsafat,
ahli kesehatan, ahli pendidikan,ahli bahasa, hingga ahli pertanian dari sebuah
angkatan kecil. Ya, angkatan itu tidak lain adalah kita, angkatan 6 “the sixth
generation”.
*tulisan kali ini sengaja ku dedikasikan untuk
sahabat-sahabat sesama “santri” angkatan 6 Pondok Pesantren Teknologi Riau. Di bawah
naungan “Ummatan Wasathan” itu aku dan mereka telah merajut kebersamaan untuk tiga tahun
lamanya. Semoga semuanya menjadi kenangan yang indah hingga nanti.. Insyaallah.
merinding liat foto 95 Gen Langka :))
BalasHapus